Kamis, 17 September 2020

Bisikan Sang Malam (short story)

 

ini adalah sepenggal cerita pendek yang pernah kutulis tahun 2014.

kinda want to post it to my blog, so others can read it too.

***

            Matahari sudah empat jam lamanya terlelap ke sudut dunia yang lain. Beragam hal kini sudah berlalu di sekitar duniaku, dunia yang kulalui dengan setiap cerita dari tiap sudutnya. Aku masih belajar banyak saat tiba-tiba saja aku melihat dia.

Kulihat lelaki bertubuh kurus itu berlari dengan seluruh tenaga yang ia punya. Matanya tidak fokus, langkahnya terburu-buru, nafasnya pun tidak teratur. Apa yang salah dengannya? Entahlah. Mungkin saja ia sedang berusaha mempertahankan hidupnya dan mungkin juga sedang mengharapkan sesuatu yang dinamakan pertolongan. Tapi yang aku tahu, saat aku menunggu, dan belajar tentang dunia, sosoknya tiba-tiba saja mencuri seluruh perhatianku.

Sepasang mataku yang kecil ini tanpa sadar mengamati setiap gerak-geriknya, dan dengan rasa ingin tahu aku juga mengikutinya. Biasanya aku hanya menunggu di atas tanah atau rerumputan tanpa berniat bergerak kemanapun, tapi tiba-tiba saja aku ingin bergerak.

            Walau sang angin menghembuskan udaranya ke arah yang berlawanan – seakan memaksaku mundur dari perjalanan baruku bersama lelaki itu, aku tidak perduli, kukerahkan seluruh tenagaku untuk bergerak melawan hembusan angin itu.

            Tiba-tiba lelaki bertubuh kurus itu menghentikan langkahnya. Aku ikut menghentikan gerakanku dan bersembunyi di dekatnya. Ia terlihat mengatur nafasnya yang kepayahan, lalu menyangga tubuhnya yang lelah di bawah lindungan pohon rindang yang – nampaknya – baik hati.

            Sang waktu mulai berlalu lagi, kudengar suara-suara mulai diserukan oleh sekelompok burung-burung hantu yang bertengger di atas pohon sana.

Menurutku suara itu menenangkan, mengisi keheningan malam dan memancarkan kepedulian akan makhluk hidup di dalamnya. Aku tidak pernah suka burung hantu, tapi kau bisa bilang aku aneh karena aku menyukai seruannya.

            Tapi apa yang kupikirkan sepertinya tidak sama bagi lelaki itu. sejenak setelah mendengar seruan-seruan malam dari sang burung hantu, lelaki kurus itu langsung terlihat waspada. Ia membisikkan sesuatu bagi dirinya sendiri yang sayangnya tidak terdengar olehku.

            Aku mencoba mendekatinya lagi, berusaha untuk tidak terlihat dan hanya ingin mencuri dengar, tapi sepertinya usahaku gagal karena kini mata besarnya sedang menatapku lekat-lekat. Ia terlihat takjub.

Takjub? Padaku?

            Ia mendekatkan lengannya yang panjang dan berusaha mencapaiku, tapi aku langsung bergerak menjauh. Sesungguhnya kaumku bukan kaum yang ramah, kami tidak percaya pada orang asing, begitupun aku yang tidak percaya pada lelaki itu. Ia mungkin menarik perhatianku, tapi itu tidak membuatku percaya padanya.

            Lelaki itu tersenyum, entah untuk dirinya sendiri atau ditujukan padaku, “jangan takut, aku tidak akan menyakitimu.”, katanya ramah dengan suaranya yang kepayahan.

            Aku tidak bergeming, masih tetap menjaga jarak dari sosoknya.

            Ia tersenyum lagi sambil memandangku lekat-lekat, “kalau monic melihatmu, ia pasti akan melonjak kegirangan. Kami jarang melihat sosokmu di sudut kota yang gemerlap.”

            Sudut kota? Apa itu bagian dari sudut dunia yang lain? Aku pernah mendengar cerita tentang burung albatros yang mengelilingi dunia. Burung itu pasti pernah ke sudut kota, tapi aku tidak.

            “aku memang tidak pernah ke sudut kota. aku lebih suka terjaga di sekeliling tempat yang dapat memberiku makanan. Apa di sudut kota banyak makanan?”, kataku, meski aku tau ia pasti tidak mendengarnya.

Ia melipat tangannya dalam pangkuannya, kali ini termenung. “..kalau saja aku tidak keras kepala, pasti semuanya tidak akan jadi seperti ini”, sesalnya,

“sekarang aku sendirian, menyedihkan, kesepian dan ketakutan.”

            Aku tidak setuju. Rasanya aku ingin menimpali kata-katanya, “aku juga sendirian, tapi aku tidak kesepian dan ketakutan.”, tapi nyatanya aku hanya diam seribu bahasa.

            Ia memejamkan matanya dan menghirup udara untuk waktu yang cukup lama sebelum menghembuskan nafasnya lagi.

            Ya, kurasa itu tindakan yang tepat. Aku yakin seseorang harus merasakan wangi udara yang diterbangkan sang angin malam ini supaya tidak merasa kesepian.

            Ia berkata lagi padaku, kali ini dalam bentuk pertanyaan, “kenapa kau sendirian? Apa kau tersesat juga?”,

            Ia pasti tidak akan bisa mendengar jawabanku, tapi toh aku tetap menjawabnya, “tidak juga. Kegiatan sehari-hariku kebanyakan adalah menunggu, sendirian tapi tidak kesepian.”, kutekankan pada kata tidak kesepian, “tapi mungkin saja aku sedang tersesat. Tempat menungguku normalnya bukan di bawah pohon yang ini. Sekarang aku bisa berada disini karena aku mengikutimu.”

            Aku mengamati pohon di hadapanku. Besar dan rindang. Hampir sama seperti yang lain. Sepertinya tidak ada salahnya tersesat di sini.

            “normalnya kalian bergerombol kan? Aneh melihatmu sendirian.”, katanya lagi.

            Normalnya, aku sendirian. Bukan sendirian yang berarti sendirian sepanjang masa, tapi yah.. dari lahir aku ditinggalkan sendirian. Menunggu salah satu dari kaum kami datang menemukanku, lalu aku – mungkin – akan menjalani hidup yang berbeda. Seperti menikah, lalu punya anak.

            Lelaki itu bicara lagi, “mengerikan, aku merasa tidak jelas melihat apapun selain sosokmu. Bisakah kau mendekat lagi ke arahku? Tempat ini gelap.”.

            Sebetulnya aku tidak mau, tapi anehnya aku tetap mendekat ke arahnya.

kuamati langit yang berada jauh di atas sana. Bulan-nya bukan bulan purnama, meski kerlap kerlip bintangnya tetap terlihat.

            “sayang sekali, sepertinya kau kurang beruntung. Biasanya tempat ini cukup terang jika sedang ada bulan purnama. Ngomong-ngomong, aku sangat menyukai bulan purnama.”, kataku.

            Seperti normalnya, ia tidak menggubris kata-kata tidak terdengarku. Ia malah menghela nafas, terlihat sangat letih.

            “aku ingin tidur, tapi aku terlalu takut untuk tidur. suara-suara itu menakutiku, ditambah disini gelap.”

            Kudengarkan dengan seksama suara-suara yang ia maksud. Duniaku selalu dipenuhi dengan suara-suara seperti ini. Suara monyet, suara burung hantu, suara serangga, semua bersatu padu membentuk harmoni yang indah dan mengisi keheningan malam.

            “aku tidak mengerti apa yang kau takuti, tapi kalau masalah gelap, kurasa kau hanya memerlukan cahaya.”, responku.

            Ia terlihat berpikir, lalu dengan cepat ia bangkit, lalu meraba-raba apapun yang ada di sekitar kami. Ia berjalan lambat kesana kemari mengumpulkan beberapa ranting kayu dan daun-daun kering yang berserakan di tanah, hingga membentuk sebuah gundukan.

            Sesaat ia terlihat kebingungan, lalu ia berjongkok, mengambil ranting kayu yang paling kurus dan panjang, mendirikannya, dan memutar porosnya, menggesek-gesekannya dengan gundukan kayu dan daun-daun kering tersebut.

            Waktu berlalu lagi, peluh keringat sudah membasahi dahi lelaki itu, tapi tidak terjadi apapun. Ia kemudian merebahkan tubuhnya ke tanah, dan menarik nafas berkali-kali karena kecapaian.

            “betapa menyedihkannya aku, bahkan membuat api pun aku tidak bisa. dan sekarang aku bahkan kehabisan tenaga karena kelaparan.”, keluhnya pada dirinya sendiri.

            Sebetulnya aku juga mulai kelaparan, tapi rasanya aku lebih suka mencari makanan di dekat sumber air daripada di sini. Dalam perjalanan hidupku, aku kerapkali berpindah-pindah dan hidup di tempat yang berbeda. Kurasa saat ini tidak ada salahnya pergi menuju tempat baru yang ada sumber air-nya.

Aku mulai menggerak-gerakan badanku mengelilingi tubuh lelaki itu, berusaha memberinya isyarat untuk berdiri dan berjalan mengikutiku. Tapi sampai beberapa waktu, dia tetap tidak bergeming.

Aku pun menyerah dan mulai bergerak sendirian, menjauhi sosoknya. Tak berapa lama, ia sepertinya sadar aku menjauhinya. Kulihat tubuh kurusnya itu mulai berjalan dengan terburu-buru mengikuti di belakangku.

Ia terlihat frustasi, “kau mau kemana? tak bisakah kau menemaniku untuk malam ini saja? hanya kau satu-satunya yang bisa aku lihat dengan jelas..”

Wah, aneh, sepertinya ia takut kehilanganku. Padahal tentu saja aku tidak akan meninggalkannya, ia makhluk yang terlalu menarik untuk ditinggalkan. Malam pun masih belum usai.

“aku bukan meninggalkanmu, hanya berusaha mendekati sumber air untuk mencari makanan. Kau juga lapar kan? Kita bisa mencarinya sepanjang perjalanan.”, kataku. Ia tidak mendengarnya, tentu saja, tapi ia tetap mengikutiku.

Matanya terus awas sepanjang perjalanan, dan beberapa kali ia menelan ludah setiap mendengar suara-suara binatang besar maupun kecil yang saling berseru satu sama lain.

Aku bergerak cepat sambil memperhatikan tiap bawah kanopi pohon, kalau-kalau ada ular, burung besar, atau sesuatu yang buas yang bisa memangsa kami. Untungnya, sejauh ini aku tidak melihatnya, jadi aku bisa terus bergerak dan tetap merasa berani.

Angin malam menuntun kami dengan harum udaranya yang semerbak – campuran aroma pepohonan rindang, lembabnya udara, dan harum buah ranum, hingga akhirnya perlahan bisa kudengar suara gemercik air dan riak lirih aliran bening yang mengalir. Di balik pepohonan rindang,  mulai terlihat rerumputan dan batu-batuan yang memagari sungai kecil yang mengalirkan air di tengah-tengahnya.

Kulihat wajah si lelaki itu berbinar-binar melihat pemandangan di hadapan kami.

Aku bergerak cepat mendekati salah satu pepohonan di sepanjang sungai itu, dan mencari makananku sendiri. perutku lapar, jadi langsung kuraup saja apa yang ada di hadapanku.

Saat aku menoleh ke belakang, lelaki itu terlihat sedang mengejar sesuatu. Kali ini ia  penuh semangat. Apa yang ia kejar?

“Dapat !!”, ucapnya riang sambil merebahkan tubuhnya di atas rerumputan.

Aku mendekatinya dengan rasa penasaran, dan betapa kagetnya aku saat tiba-tiba dari arahnya kulihat ada tupai yang meloncat.

Tupai itu terlihat kesal, “dasar manusia, ia mencuri makananku!!”, makinya. Mata kami bertemu sebentar, tapi tupai itu melewatiku begitu saja – pergi menjauhi kami.

Kulihat lelaki itu kini sedang memakan sesuatu yang terlihat seperti buah. Wah, tampaknya ia mencuri buah milik si tupai. Pantas saja tupai itu marah.

Selesai menghabiskan buah curiannya, lelaki itu bangkit berdiri lagi dan berjalan berputar-putar mengitari sekeliling kami. Matanya mencari-cari sesuatu.

“Tupai itu memegang buah yang masih bagus, jadi aku yakin pohon buah itu pasti di sekitar sini. Tapi yang mana ya?”, gumamnya.

Cahaya bulan yang tidak terhalang dedaunan pohon besar dan dipantulkan oleh air membuat tempat ini terlihat lebih terang dan hidup. Tidak aneh kalau sekarang lelaki itu bisa melihat lebih jelas. Ia mulai sibuk berjalan kesana kemari sampai akhirnya ia menemukan buah yang ia maksud.

Dengan gembira ia memetik buah-buah itu dan menaruhnya satu persatu ke atas rumput, mengumpulkannya cukup banyak, lalu memakannya. Aku terus mengamatinya, turut merasa senang. Kini kami berdua sama-sama kenyang.

Saat kupikir lelaki itu sudah lupa akan kehadiranku, tiba-tiba ia memandangku lagi,

“hey buddy~ kau masih disini ternyata. Rasanya aneh mengatakan ini, tapi sepertinya aku harus berterimakasih padamu karena sudah menuntunku ke tempat ini.”, ia tertawa, “terima kasih ya.”

Kalau aku bisa tersipu, aku pasti sudah tersipu. Tapi apalah dayaku, tersipu pun aku tak mampu.

Ia merebahkan dirinya yang sudah kenyang di atas rerumputan lagi, lalu menutup matanya cukup lama.

Saat kupikir ia jatuh tertidur, tiba-tiba ia mengucapkan sesuatu. Ia mendendangkan kata-kata yang membentuk bait nada yang merdu.

Suddenly i’m caught in your light

Opened the door, and you stepped inside

And i’m watching the hours

Looking for reasons

Find that i’m missing every beat of your heart

‘til you’re back in my arms,

I’ll be waiting up, counting the stars.. counting the stars..

Aku tidak mengerti apa yang ia katakan, tidak juga pernah mendengar nada itu sebelumnya, tapi aku yakin nada itu pasti berasal dari dunia lain tempatnya berasal. Kurasa itu indah sekali.

“aku merindukan monic. aku ingin melihat tawanya, aku ingin mendengar suaranya, aku ingin menghitung bintang bersamanya.”

Aku bergerak mendekatinya dan mengamati ratapan wajahnya yang haus akan rasa rindu,

“siapa itu monic?”, tanyaku tanpa suara.

Ia melanjutkan ucapannya dengan nada sendu, “monic tergila-gila pada alam, ia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk menanam pohon daripada menonton film atau konser musik. Ia lebih suka melihat binatang daripada shopping. Ia lebih memilih piknik di tengah hutan atau pinggir pantai daripada hangout ke kafe atau mal.”

“tapi aku berbeda.. aku lebih suka gemerlap kota, aku lebih suka hangout dan main game, aku tidak pernah mengerti akan kesukaannya dengan alam, aku selalu meremehkan ceritanya, aku egois”, ia melanjutkan,

Aku tidak begitu mengerti, tapi aku terus menyimak kata-katanya.

Ia memandang langit dengan pilu, “lalu pada hari itu, saat ia tengah sibuk mempersiapkan kejutan pada hari ulang tahunku, aku malah berpikir ia sudah tidak perduli padaku, terlalu sibuk pada hobi alamnya yang tidak jelas, dan menghujatnya dengan kata-kata tidak pantas. Aku menyebutnya aneh, aku menyebut kami tidak cocok, aku menyakiti hatinya dan dengan sepihak memutus hubungan kami.”

Aku bergerak mendekat lagi, hingga sampai ke sudut hidungnya, dan melihat dengan jelas kedua bola matanya yang jernih.

“Aku selalu penasaran pada manusia. Banyak dari kami yang mengatakan kalian tidak punya hati. Menurutmu, kau punya hati atau tidak? Tapi kalau kau menyesal telah menyakiti hati pacarmu, menurutku kau masih punya hati.”, kataku.

Awalnya ia terlihat kaget saat melihatku ada di sudut hidungnya. Lalu dengan gerakan yang amat perlahan ia mengangkat tangannya, berusaha mencapaiku..

..tapi tentu saja tidak berhasil. aku langsung bergerak dengan sangat cepat menjauh darinya. Wah, tidak segampang itu jika mau menangkapku.

Tanpa kusangka, serta merta ia tertawa. Tertawa terbahak-bahak sampai matanya yang besar itu menyipit dibuatnya.

“kupikir aku bisa menangkapmu, tapi kau pintar sekali ya, teman kecil.”, katanya kemudian, masih melirikku sambil duduk di atas rerumputan.

“hey, buddy. kau tau, suatu hari monic pernah membacakanku cerita tentang kunang-kunang dan peri. Aku selalu berpikir itu adalah cerita yang super payah, kekanak-kanakan, dan sama sekali tidak nyata.”, ia tersenyum geli, “tapi anehnya, saat pertama kali melihatmu di tengah hutan, yang kupikirkan pertama kali adalah.. wah, aku bertemu peri.”

“..aku tidak percaya ternyata aku sendirilah yang kekanak-kanakkan.”, ucapnya lagi sambil melipat kedua tangannya di atas kepala.

Hening.

Tapi seperti yang sudah kuduga, lelaki ini masih belum puas bercerita,

“Tapi ya.. kalau dipikir-pikir, mungkin saja kau ‘peri’. Awalnya saat aku pergi ke hutan ini untuk menyusul monic, aku sangat kepayahan. Tersesat, kelaparan, ketakutan. Takut bertemu singa, takut digigit ular, takut dengan bunyi-bunyian, takut akan gelap–“

“–Lalu malam ini aku bertemu denganmu. Menemukan secercah cahaya kekuningan darimu, tidak lagi benar-benar sendirian, berani berjalan dan menemukan makanan, mendendangkan sebuah lagu, bahkan bisa tertawa.”

Ia tersenyum lagi, senyum yang sangat manis bagi ukuran seorang manusia.

“Malam yang magis. Tanpa kusadari mungkin aku sudah menemukan keindahan hutan yang selalu diceritakan oleh monic..”, ia merebahkan dirinya lagi ke atas rerumputan,

“Kalau monic ada disini, aku bisa membayangkan wajah bahagianya. Bertemu tupai, memetik buah yang manis yang bahkan tidak kami tau namanya, terbaring di atas rerumputan yang anehnya empuk, dan mendendangkan lagu ditemani kerlap kerlip cahaya..”,

Suaranya mulai memelan, “nanti saat pagi tiba, aku berjanji akan berjalan dengan semangat dan pergi mencari tempat monic berada.. lalu akan kukatakan seribu maaf, dan akan kubilang padanya.. kalau aku menyesal, dan ia lebih berharga dari apapun..”

Dan itu menjadi kata-kata terakhirnya malam ini, karena setelah itu ia jatuh tertidur.

Tanpa terasa, sayup-sayup mulai kudengar suara ayam hutan berkokok dari ujung timur sana, menandakan kalau malam akan usai dan pagi akan segera tiba.

Seperti ia yang akan melanjutkan perjalanannya, aku pun harus melanjutkan perjalananku. Maka tanpa pamit yang berarti, aku meninggalkannya, dan bergerak menuju tempat lain yang akan mempertemukanku dengan kaumku yang lain.

Aku masih tidak bisa menyimpulkan dengan baik seperti apakah manusia itu. Tapi setidaknya malam ini aku tau kalau sebagian dari mereka mempunyai hati, dan seorang dari mereka juga memberiku pelajaran baru yang berarti.

Jangan hanya menunggu, tapi kita juga harus bergerak.

Ya, bahkan seekor kunang-kunang yang tidak ada apa-apanya sepertiku pun, mulai saat ini akan terus bergerak.

 

***

0 komentar:

Posting Komentar

 

J U S T M Y S M A L L R O O M Template by Ipietoon Cute Blog Design