ini adalah sepenggal cerita pendek yang pernah kutulis tahun 2014.
Matahari sudah empat jam lamanya terlelap
ke sudut dunia yang lain. Beragam hal kini sudah berlalu di sekitar duniaku, dunia
yang kulalui dengan setiap cerita dari tiap sudutnya. Aku masih belajar banyak
saat tiba-tiba saja aku melihat dia.
Kulihat lelaki bertubuh kurus itu berlari dengan
seluruh tenaga yang ia punya. Matanya tidak fokus, langkahnya terburu-buru,
nafasnya pun tidak teratur. Apa yang salah dengannya? Entahlah. Mungkin saja ia
sedang berusaha mempertahankan hidupnya dan mungkin juga sedang mengharapkan
sesuatu yang dinamakan pertolongan. Tapi yang aku tahu, saat aku menunggu, dan belajar
tentang dunia, sosoknya tiba-tiba saja mencuri seluruh perhatianku.
Sepasang mataku yang kecil ini tanpa sadar
mengamati setiap gerak-geriknya, dan dengan rasa ingin tahu aku juga
mengikutinya. Biasanya aku hanya menunggu di atas tanah atau rerumputan tanpa
berniat bergerak kemanapun, tapi tiba-tiba saja aku ingin bergerak.
Walau sang angin menghembuskan
udaranya ke arah yang berlawanan – seakan memaksaku mundur dari perjalanan
baruku bersama lelaki itu, aku tidak perduli, kukerahkan seluruh tenagaku untuk
bergerak melawan hembusan angin itu.
Tiba-tiba lelaki bertubuh kurus itu
menghentikan langkahnya. Aku ikut menghentikan gerakanku dan bersembunyi di
dekatnya. Ia terlihat mengatur nafasnya yang kepayahan, lalu menyangga tubuhnya
yang lelah di bawah lindungan pohon rindang yang – nampaknya – baik hati.
Sang waktu mulai berlalu lagi, kudengar
suara-suara mulai diserukan oleh sekelompok burung-burung hantu yang bertengger
di atas pohon sana.
Menurutku suara itu menenangkan, mengisi keheningan
malam dan memancarkan kepedulian akan makhluk hidup di dalamnya. Aku tidak
pernah suka burung hantu, tapi kau bisa bilang aku aneh karena aku menyukai
seruannya.
Tapi apa yang kupikirkan sepertinya
tidak sama bagi lelaki itu. sejenak setelah mendengar seruan-seruan malam dari
sang burung hantu, lelaki kurus itu langsung terlihat waspada. Ia membisikkan
sesuatu bagi dirinya sendiri yang sayangnya tidak terdengar olehku.
Aku mencoba mendekatinya lagi,
berusaha untuk tidak terlihat dan hanya ingin mencuri dengar, tapi sepertinya
usahaku gagal karena kini mata besarnya sedang menatapku lekat-lekat. Ia
terlihat takjub.
Takjub? Padaku?
Ia mendekatkan lengannya yang
panjang dan berusaha mencapaiku, tapi aku langsung bergerak menjauh.
Sesungguhnya kaumku bukan kaum yang ramah, kami tidak percaya pada orang asing,
begitupun aku yang tidak percaya pada lelaki itu. Ia mungkin menarik
perhatianku, tapi itu tidak membuatku percaya padanya.
Lelaki itu tersenyum, entah untuk
dirinya sendiri atau ditujukan padaku, “jangan takut, aku tidak akan
menyakitimu.”, katanya ramah dengan suaranya yang kepayahan.
Aku tidak bergeming, masih tetap
menjaga jarak dari sosoknya.
Ia tersenyum lagi sambil memandangku
lekat-lekat, “kalau monic melihatmu, ia pasti akan melonjak kegirangan. Kami
jarang melihat sosokmu di sudut kota yang gemerlap.”
Sudut kota? Apa itu bagian dari
sudut dunia yang lain? Aku pernah mendengar cerita tentang burung albatros yang
mengelilingi dunia. Burung itu pasti pernah ke sudut kota, tapi aku tidak.
“aku memang tidak pernah ke sudut
kota. aku lebih suka terjaga di sekeliling tempat yang dapat memberiku makanan.
Apa di sudut kota banyak makanan?”, kataku, meski aku tau ia pasti tidak
mendengarnya.
Ia melipat tangannya dalam pangkuannya,
kali ini termenung. “..kalau saja aku tidak keras kepala, pasti semuanya tidak
akan jadi seperti ini”, sesalnya,
“sekarang aku sendirian, menyedihkan,
kesepian dan ketakutan.”
Aku tidak setuju. Rasanya aku ingin
menimpali kata-katanya, “aku juga sendirian, tapi aku tidak kesepian dan
ketakutan.”, tapi nyatanya aku hanya diam seribu bahasa.
Ia memejamkan matanya dan menghirup
udara untuk waktu yang cukup lama sebelum menghembuskan nafasnya lagi.
Ya, kurasa itu tindakan yang tepat.
Aku yakin seseorang harus merasakan wangi udara yang diterbangkan sang angin malam
ini supaya tidak merasa kesepian.
Ia berkata lagi padaku, kali ini
dalam bentuk pertanyaan, “kenapa kau sendirian? Apa kau tersesat juga?”,
Ia pasti tidak akan bisa mendengar
jawabanku, tapi toh aku tetap menjawabnya, “tidak juga. Kegiatan sehari-hariku
kebanyakan adalah menunggu, sendirian tapi tidak kesepian.”, kutekankan pada
kata tidak kesepian, “tapi mungkin saja aku sedang tersesat. Tempat menungguku
normalnya bukan di bawah pohon yang ini. Sekarang aku bisa berada disini karena
aku mengikutimu.”
Aku mengamati pohon di hadapanku. Besar
dan rindang. Hampir sama seperti yang lain. Sepertinya tidak ada salahnya
tersesat di sini.
“normalnya kalian bergerombol kan?
Aneh melihatmu sendirian.”, katanya lagi.
Normalnya, aku sendirian. Bukan
sendirian yang berarti sendirian sepanjang masa, tapi yah.. dari lahir aku
ditinggalkan sendirian. Menunggu salah satu dari kaum kami datang menemukanku,
lalu aku – mungkin – akan menjalani hidup yang berbeda. Seperti menikah, lalu
punya anak.
Lelaki itu bicara lagi, “mengerikan,
aku merasa tidak jelas melihat apapun selain sosokmu. Bisakah kau mendekat lagi
ke arahku? Tempat ini gelap.”.
Sebetulnya aku tidak mau, tapi
anehnya aku tetap mendekat ke arahnya.
kuamati langit yang berada jauh di atas
sana. Bulan-nya bukan bulan purnama, meski kerlap kerlip bintangnya tetap
terlihat.
“sayang sekali, sepertinya kau
kurang beruntung. Biasanya tempat ini cukup terang jika sedang ada bulan
purnama. Ngomong-ngomong, aku sangat menyukai bulan purnama.”, kataku.
Seperti normalnya, ia tidak
menggubris kata-kata tidak terdengarku. Ia malah menghela nafas, terlihat
sangat letih.
“aku ingin tidur, tapi aku terlalu
takut untuk tidur. suara-suara itu menakutiku, ditambah disini gelap.”
Kudengarkan dengan seksama
suara-suara yang ia maksud. Duniaku selalu dipenuhi dengan suara-suara seperti
ini. Suara monyet, suara burung hantu, suara serangga, semua bersatu padu
membentuk harmoni yang indah dan mengisi keheningan malam.
“aku tidak mengerti apa yang kau
takuti, tapi kalau masalah gelap, kurasa kau hanya memerlukan cahaya.”,
responku.
Ia terlihat berpikir, lalu dengan
cepat ia bangkit, lalu meraba-raba apapun yang ada di sekitar kami. Ia berjalan
lambat kesana kemari mengumpulkan beberapa ranting kayu dan daun-daun kering
yang berserakan di tanah, hingga membentuk sebuah gundukan.
Sesaat ia terlihat kebingungan, lalu
ia berjongkok, mengambil ranting kayu yang paling kurus dan panjang,
mendirikannya, dan memutar porosnya, menggesek-gesekannya dengan gundukan kayu
dan daun-daun kering tersebut.
Waktu berlalu lagi, peluh keringat
sudah membasahi dahi lelaki itu, tapi tidak terjadi apapun. Ia kemudian merebahkan
tubuhnya ke tanah, dan menarik nafas berkali-kali karena kecapaian.
“betapa menyedihkannya aku, bahkan
membuat api pun aku tidak bisa. dan sekarang aku bahkan kehabisan tenaga karena
kelaparan.”, keluhnya pada dirinya sendiri.
Sebetulnya aku juga mulai kelaparan,
tapi rasanya aku lebih suka mencari makanan di dekat sumber air daripada di
sini. Dalam perjalanan hidupku, aku kerapkali berpindah-pindah dan hidup di
tempat yang berbeda. Kurasa saat ini tidak ada salahnya pergi menuju tempat
baru yang ada sumber air-nya.
Aku mulai menggerak-gerakan badanku mengelilingi
tubuh lelaki itu, berusaha memberinya isyarat untuk berdiri dan berjalan
mengikutiku. Tapi sampai beberapa waktu, dia tetap tidak bergeming.
Aku pun menyerah dan mulai bergerak
sendirian, menjauhi sosoknya. Tak berapa lama, ia sepertinya sadar aku
menjauhinya. Kulihat tubuh kurusnya itu mulai berjalan dengan terburu-buru
mengikuti di belakangku.
Ia terlihat frustasi, “kau mau kemana? tak
bisakah kau menemaniku untuk malam ini saja? hanya kau satu-satunya yang bisa
aku lihat dengan jelas..”
Wah, aneh, sepertinya ia takut kehilanganku.
Padahal tentu saja aku tidak akan meninggalkannya, ia makhluk yang terlalu menarik
untuk ditinggalkan. Malam pun masih belum usai.
“aku bukan meninggalkanmu, hanya berusaha
mendekati sumber air untuk mencari makanan. Kau juga lapar kan? Kita bisa
mencarinya sepanjang perjalanan.”, kataku. Ia tidak mendengarnya, tentu saja,
tapi ia tetap mengikutiku.
Matanya terus awas sepanjang perjalanan,
dan beberapa kali ia menelan ludah setiap mendengar suara-suara binatang besar
maupun kecil yang saling berseru satu sama lain.
Aku bergerak cepat sambil memperhatikan tiap
bawah kanopi pohon, kalau-kalau ada ular, burung besar, atau sesuatu yang buas
yang bisa memangsa kami. Untungnya, sejauh ini aku tidak melihatnya, jadi aku
bisa terus bergerak dan tetap merasa berani.
Angin malam menuntun kami dengan harum
udaranya yang semerbak – campuran aroma pepohonan rindang, lembabnya udara, dan
harum buah ranum, hingga akhirnya perlahan bisa kudengar suara gemercik air dan
riak lirih aliran bening yang mengalir. Di balik pepohonan rindang, mulai terlihat rerumputan dan batu-batuan yang
memagari sungai kecil yang mengalirkan air di tengah-tengahnya.
Kulihat wajah si lelaki itu berbinar-binar
melihat pemandangan di hadapan kami.
Aku bergerak cepat mendekati salah satu pepohonan
di sepanjang sungai itu, dan mencari makananku sendiri. perutku lapar, jadi
langsung kuraup saja apa yang ada di hadapanku.
Saat aku menoleh ke belakang, lelaki itu
terlihat sedang mengejar sesuatu. Kali ini ia penuh semangat. Apa yang ia kejar?
“Dapat !!”, ucapnya riang sambil
merebahkan tubuhnya di atas rerumputan.
Aku mendekatinya dengan rasa penasaran,
dan betapa kagetnya aku saat tiba-tiba dari arahnya kulihat ada tupai yang
meloncat.
Tupai itu terlihat kesal, “dasar manusia,
ia mencuri makananku!!”, makinya. Mata kami bertemu sebentar, tapi tupai itu
melewatiku begitu saja – pergi menjauhi kami.
Kulihat lelaki itu kini sedang memakan
sesuatu yang terlihat seperti buah. Wah, tampaknya ia mencuri buah milik si
tupai. Pantas saja tupai itu marah.
Selesai menghabiskan buah curiannya,
lelaki itu bangkit berdiri lagi dan berjalan berputar-putar mengitari
sekeliling kami. Matanya mencari-cari sesuatu.
“Tupai itu memegang buah yang masih bagus,
jadi aku yakin pohon buah itu pasti di sekitar sini. Tapi yang mana ya?”,
gumamnya.
Cahaya bulan yang tidak terhalang dedaunan
pohon besar dan dipantulkan oleh air membuat tempat ini terlihat lebih terang
dan hidup. Tidak aneh kalau sekarang lelaki itu bisa melihat lebih jelas. Ia mulai
sibuk berjalan kesana kemari sampai akhirnya ia menemukan buah yang ia maksud.
Dengan gembira ia memetik buah-buah itu dan
menaruhnya satu persatu ke atas rumput, mengumpulkannya cukup banyak, lalu
memakannya. Aku terus mengamatinya, turut merasa senang. Kini kami berdua
sama-sama kenyang.
Saat kupikir lelaki itu sudah lupa akan
kehadiranku, tiba-tiba ia memandangku lagi,
“hey buddy~ kau masih disini ternyata.
Rasanya aneh mengatakan ini, tapi sepertinya aku harus berterimakasih padamu
karena sudah menuntunku ke tempat ini.”, ia tertawa, “terima kasih ya.”
Kalau aku bisa tersipu, aku pasti sudah
tersipu. Tapi apalah dayaku, tersipu pun aku tak mampu.
Ia merebahkan dirinya yang sudah kenyang
di atas rerumputan lagi, lalu menutup matanya cukup lama.
Saat kupikir ia jatuh tertidur, tiba-tiba
ia mengucapkan sesuatu. Ia mendendangkan kata-kata yang membentuk bait nada
yang merdu.
Suddenly i’m
caught in your light
Opened the door,
and you stepped inside
And i’m watching
the hours
Looking for
reasons
Find that i’m
missing every beat of your heart
‘til you’re back
in my arms,
I’ll be waiting
up, counting the stars.. counting the stars..
Aku tidak mengerti apa yang ia katakan,
tidak juga pernah mendengar nada itu sebelumnya, tapi aku yakin nada itu pasti
berasal dari dunia lain tempatnya berasal. Kurasa itu indah sekali.
“aku merindukan monic. aku ingin melihat
tawanya, aku ingin mendengar suaranya, aku ingin menghitung bintang
bersamanya.”
Aku bergerak mendekatinya dan mengamati ratapan
wajahnya yang haus akan rasa rindu,
“siapa itu monic?”, tanyaku tanpa suara.
Ia melanjutkan ucapannya dengan nada
sendu, “monic tergila-gila pada alam, ia lebih memilih menghabiskan waktunya
untuk menanam pohon daripada menonton film atau konser musik. Ia lebih suka
melihat binatang daripada shopping.
Ia lebih memilih piknik di tengah hutan atau pinggir pantai daripada hangout ke
kafe atau mal.”
“tapi aku berbeda.. aku lebih suka
gemerlap kota, aku lebih suka hangout dan main game, aku tidak pernah mengerti
akan kesukaannya dengan alam, aku selalu meremehkan ceritanya, aku egois”, ia
melanjutkan,
Aku tidak begitu mengerti, tapi aku terus menyimak
kata-katanya.
Ia memandang langit dengan pilu, “lalu
pada hari itu, saat ia tengah sibuk mempersiapkan kejutan pada hari ulang
tahunku, aku malah berpikir ia sudah tidak perduli padaku, terlalu sibuk pada
hobi alamnya yang tidak jelas, dan menghujatnya dengan kata-kata tidak pantas.
Aku menyebutnya aneh, aku menyebut kami tidak cocok, aku menyakiti hatinya dan
dengan sepihak memutus hubungan kami.”
Aku bergerak mendekat lagi, hingga sampai
ke sudut hidungnya, dan melihat dengan jelas kedua bola matanya yang jernih.
“Aku selalu penasaran pada manusia. Banyak
dari kami yang mengatakan kalian tidak punya hati. Menurutmu, kau punya hati
atau tidak? Tapi kalau kau menyesal telah menyakiti hati pacarmu, menurutku kau
masih punya hati.”, kataku.
Awalnya ia terlihat kaget saat melihatku
ada di sudut hidungnya. Lalu dengan gerakan yang amat perlahan ia mengangkat
tangannya, berusaha mencapaiku..
..tapi tentu saja tidak berhasil. aku
langsung bergerak dengan sangat cepat menjauh darinya. Wah, tidak segampang itu
jika mau menangkapku.
Tanpa kusangka, serta merta ia tertawa.
Tertawa terbahak-bahak sampai matanya yang besar itu menyipit dibuatnya.
“kupikir aku bisa menangkapmu, tapi kau
pintar sekali ya, teman kecil.”, katanya kemudian, masih melirikku sambil duduk
di atas rerumputan.
“hey, buddy.
kau tau, suatu hari monic pernah membacakanku cerita tentang kunang-kunang dan
peri. Aku selalu berpikir itu adalah cerita yang super payah, kekanak-kanakan,
dan sama sekali tidak nyata.”, ia tersenyum geli, “tapi anehnya, saat pertama
kali melihatmu di tengah hutan, yang kupikirkan pertama kali adalah.. wah, aku
bertemu peri.”
“..aku tidak percaya ternyata aku
sendirilah yang kekanak-kanakkan.”, ucapnya lagi sambil melipat kedua tangannya
di atas kepala.
Hening.
Tapi seperti yang sudah kuduga, lelaki ini
masih belum puas bercerita,
“Tapi ya.. kalau dipikir-pikir, mungkin
saja kau ‘peri’. Awalnya saat aku pergi ke hutan ini untuk menyusul monic, aku
sangat kepayahan. Tersesat, kelaparan, ketakutan. Takut bertemu singa, takut
digigit ular, takut dengan bunyi-bunyian, takut akan gelap–“
“–Lalu malam ini aku bertemu denganmu.
Menemukan secercah cahaya kekuningan darimu, tidak lagi benar-benar sendirian,
berani berjalan dan menemukan makanan, mendendangkan sebuah lagu, bahkan bisa
tertawa.”
Ia tersenyum lagi, senyum yang sangat
manis bagi ukuran seorang manusia.
“Malam yang magis. Tanpa kusadari mungkin aku
sudah menemukan keindahan hutan yang selalu diceritakan oleh monic..”, ia
merebahkan dirinya lagi ke atas rerumputan,
“Kalau monic ada disini, aku bisa
membayangkan wajah bahagianya. Bertemu tupai, memetik buah yang manis yang
bahkan tidak kami tau namanya, terbaring di atas rerumputan yang anehnya empuk,
dan mendendangkan lagu ditemani kerlap kerlip cahaya..”,
Suaranya mulai memelan, “nanti saat pagi
tiba, aku berjanji akan berjalan dengan semangat dan pergi mencari tempat monic
berada.. lalu akan kukatakan seribu maaf, dan akan kubilang padanya.. kalau aku
menyesal, dan ia lebih berharga dari apapun..”
Dan itu menjadi kata-kata terakhirnya
malam ini, karena setelah itu ia jatuh tertidur.
Tanpa terasa, sayup-sayup mulai kudengar
suara ayam hutan berkokok dari ujung timur sana, menandakan kalau malam akan
usai dan pagi akan segera tiba.
Seperti ia yang akan melanjutkan
perjalanannya, aku pun harus melanjutkan perjalananku. Maka tanpa pamit yang
berarti, aku meninggalkannya, dan bergerak menuju tempat lain yang akan
mempertemukanku dengan kaumku yang lain.
Aku masih tidak bisa menyimpulkan dengan
baik seperti apakah manusia itu. Tapi setidaknya malam ini aku tau kalau
sebagian dari mereka mempunyai hati, dan seorang dari mereka juga memberiku
pelajaran baru yang berarti.
Jangan hanya menunggu, tapi kita juga
harus bergerak.
Ya, bahkan seekor kunang-kunang yang tidak
ada apa-apanya sepertiku pun, mulai saat ini akan terus bergerak.
***
0 komentar:
Posting Komentar